06 Oktober 2009

Spirit Kesahajaan, Cintakasih Dan kemanusiaan Dari Flores

  Judul Buku       : Serenade Dua Cinta
  Penulis              : Ade Nastiti
  Penerbit            : PT. Lingkar Pena Kreativa
  Edisi                 : Cetakan I, Januari 2009
  Tebal                : 408 Halaman

        Membaca 23 bab awal dari 42 bab yang diceritakan  dalam novel ini, pembaca diajak untuk belajar materi propermas dalam kemasan naratif yang menarik. Background   penulis yang pernah terjun langsung dalam dunia pemberdayaan masyarakat, ingin mengenalkan sesuatu yang berkaitan dengan program pemberdayaan masyarakat tersebut kepada pembaca. Salah satunya adalah profesi fasilitator yang belum banyak dikenal orang. Tidak setenar dokter, guru, pns dan sebagainya, tapi profesi ini juga merupakan salah satu bentuk sebuah pengabdian kepada masyarakat.
            Dalam novel ini, diceritakan sosok Hening sebagai seorang fasilitator sebuah program pemberdayaan masyarakat. Riung, sebuah daerah di Flores yang terpencil namun rupawan, menjadi saksi bisu perjalanan hidup Hening serta usahanya mencari sang ayah, diantara pengabdian terhadap sebuah profesi dan mencari kebahagiaan yang didimpikannya.
       Tantangan demi tantangan dihadapinya. Hari-hari Hening menjadi semakin berwarna. Bertemu orang-orang baru, kebudayaan baru, pressure dan dinamika kerja yang tinggi menjadi hiburan untuknya. Takdir hidup di Flores, membawanya bertemu dengan sosok-sosok yang berharga dalam hidupnya. Riung yang sepi, bukan berarti sepi di hati Hening. Apalagi setelah dia mengenal sosok Adrian, seorang duda agnostik beranak satu yang bisa menaklukkan kerasnya hati Hening.
 Hening terjebak dalam kisah cinta yang meragukan bersama Adrian. Meskipun mereka saling mencintai, namun Adrian sudah mempunyai tunangan. Di satu sisi, Hening telah memiliki Fajar. Laki-laki yang telah sabar memahami dirinya selama 10 tahun. Jebakan cinta segitiga itu akhirnya terkuak. Ego dan idealisme Hening tentang cinta, membawanya kehilangan Adrian dan Fajar. Meskipun tercabik hatinya, Hening bisa melarutkan emosi dan menjalani profesinya di Riung dengan profesional.
            Romansa cinta Hening dan pengabdiannya terhadap masyarakat Riung membawanya bertemu sang ayah yang dicarinya, meskipun hanya sekejap. Tabir kepergian ayahnya meninggalkan keluarga 24 tahun lalu juga telah terbuka. Beban yang selama ini menggayuti hati Hening telah sirna.
Enam tahun sudah berlalu, Sosok Adrian telah menghilang lama. Namun ternyata cinta Hening kepada Adrian belum menghilang, meskipun dia telah mencoba mengacuhkan rasa itu. Hanya sebuah keyakinan bahwa cinta yang diharapkan akan benar-benar singgah kepadanya. Dan siapa sangka jika cinta itu akan kembali lagi. Cinta memang misteri, dia akan datang pada waktunya.
         Sebuah curahan pengalaman yang luar biasa. Unsur indah dan bermanfaat untuk pembaca telah menjiwai isi dan teknik penulisannya. Gaya bahasanya lugas, meskipun pilihan kata untuk dialog banyak menggunakan bahasa lokal. Namun, tidak mengurangi keindahan cerita bahkan menjadi variasi yang manis. Pembaca tetap bisa memahami maknanya karena terbantu oleh footnote yang ditampilkan.
  Novel ini dibangun dari ide brilian dengan nuansa intelektual yang tinggi. Mungkin yang patut dikritisi hanyalah alur cerita yang kurang berliku dalam perjuangan menemukan sang ayah. Konflik yang menjadi tujuan awal cerita ini, terkesan datar dan tidak menjadi konflik utama bahkan hanya menjadi “figuran” cerita, karena sedikit sekali terceritakan. Namun kekurangan itu bisa ditutupi dengan deskripsi setting cerita yang bagus. Penjelasan mengenai program pemberdayaan masyarakat, sistem pembangunan bottom up dan teknis-teknisnya, terdeskripsikan dengan jelas. Hal ini menunjukkan jika sang penulis memahami betul materi yang menjadi latar belakang cerita.
            Happy ending yang dipilih penulis untuk penyelesaian cerita, membuat unsur “indah” sebuah novel terpenuhi, yaitu menghibur. Sebab sebagian besar pembaca menyukai sebuah ending yang bahagia dibanding sedih atau menggantung.
Melihat dari unsur “manfaat”, novel ini sangat edukatif. Penulis menyampaikan sebuah pendidikan tentang kesahajaan, cinta kasih, kemanusiaan, senasib sepenanggungan dan toleransi. Hal ini ditunjukkan ketika seorang Hening, gadis kota yang berjilbab, diterima baik oleh lingkungan khatolik taat dalam kondisi perekonomian yang kurang. Mereka bahkan sangat menghargai keberadaan Hening, dan tidak mempersoalkan perbedaan keyakinan yang dianut.
            Setting tempat yaitu Flores, juga mengajarkan sebuah jendela baru bagi pembaca. Bahwa sebuah daerah yang jauh dari ibukota dan tidak seramai kota-kota di Jawa, tidak selalu menciptakan perasaan sepi  dan asing bagi orang kota seperti Hening dan teman-temannya. Syaratnya adalah, manusia tersebut bisa “membawa diri” dimanapun dia berada.
            Perpaduan ide dan pengalaman penulis, membuat novel ini sangat layak dibaca. Kisah heroik para fasilitator dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat di tengah isu-isu korupsi terhadap dana pembangunan, setidaknya bisa “membuka” wacana kita untuk percaya bahwa idealisme terhadap pembangunan itu masih ada. Bahkan lebih jauh, bisa “menggugah” hati kita untuk peduli terhadap kondisi “saudara” sebangsa-setanah air yang berada di pelosok negeri Indonesia. Meskipun terlihat sederhana, namun menyimpan makna yang dalam jika kita renungkan dan lakukan.


Dimuat di Solo pos, 22 Maret 2009






Tidak ada komentar: