21 Mei 2010

Wajah Tak Bernama

Sekali lagi aku melihat ke cermin, di dalam wajah yang menatap balik ke arahku..
Katakan, apakah kamu ingat aku?



Aku berbicara tentang diriku.
Aku heran, kadang aku bisa menceritakan tentang pengalaman-pengalamanku masa lalu tanpa banyak melibatkan perasaan. Padahal pengalaman itu sangat menyakitkan.
Semua sederhana..
Bahkan karena terlalu tanpa perasaan, maka akan terasa sikap dinginnya..


Sekali lagi aku melihat ke cermin, di dalam wajah yang menatap balik ke arahku..
Katakan, apakah kamu ingat aku?


Tubuh ini seakan-akan hanya objek yang hidup di dalam dunia ini, atau ada kalanya tubuh ini justru bertindak sebagai dinding pembatas dunia batinku..
Aku seperti sedang berjalan ke sebuah puncak gunung dengan membawa usulan pelucutan senjata..


Sekali lagi aku melihat ke cermin, di dalam wajah yang menatap balik ke arahku..
Katakan, apakah kamu ingat aku?



Kali ini aku tidak hanya bicara tentang diriku, tapi juga tentang dia..
Siapa dia, semua juga masih teka-teki. Dia masih berupa sebuah pertemuan belum berupa penyatuan.
Namun tiba-tiba, aku tidak yakin apakah dia menyadarinya saat Tuhan memberikan hadiah pertemuan itu..??
Meskipun aku sendiri menerima hadiah pertemuan itu dengan rasa terima kasih.


Sekali lagi aku melihat ke cermin, di dalam wajah yang menatap balik ke arahku..
Katakan, apakah kamu ingat aku?
Apakah aku tampak seperti milik seseorang?



Aku mempercayai bahwa aku bebas merdeka.
Itulah sebabnya, aku butuh dia. Dia yang akan berperan dalam banyak sisi kehidupanku, bahkan juga sebagai pelindung profesionalku-ku..


Sekali lagi aku melihat ke cermin, di dalam wajah yang menatap balik ke arahku..
Katakan, siapa dia?



Dia..
Aku ingin melihat ke dalam matanya ketika aku menatapnya, aku tidak menemukan wajah pendusta di sana..
Bahwa dia bukan pendusta..


Aku terus berjalan, menemukan jalan pulang ke rumah, kepada diriku sendiri.
Mengunjungi suatu tempat ke tempat lain, melihat banyak kehidupan dengan wajah-wajah yang tak bernama..
Aku selalu bergerak demi mencari sebuah tempat yang akan aku sebut “rumah”ku.
Dimana ada Sebuah kasih sayang, kelemahlembutan, rasa cinta dan semua perasaan baik berkumpul di sana..

06 Mei 2010


Sepanjang waktu sampai detik ini saya hidup, rasanya sangat minimalis saya menuntut hak atau membalas secara lisan terhadap kritikan tidak membangun dan tekanan yang menghancurkan.
Saya mengira, jika saya melakukan pembalasan dengan lisan saya, justru hanya akan menuai kerugian dan penyesalan yang besar. Bahkan bisa menimbulkan kerenggangan antara saya dengan orang yang mengkritik saya tersebut. Sebab, kalimat balasan yang disertai emosi tinggi bisa jadi jauh lebih terekspresikan “kepedasan”nya. Lebih dari itu, akan bisa menyulutkan api permusuhan dari sikap saya yang mungkin tidak terima.

Menurut saya, jalan terbaik untuk menyikapi kritikan tidak membangun dari orang lain atau celaan yang memerahkan telinga itu adalah dengan tidak peduli- lekas melupakan- pemakluman- menganggapnya tidak pernah terjadi- menutup telinga dan mata dengan tetap sabar.

Laut yang luas tidak akan terpengaruh oleh lemparan batu seorang bocah,
apalagi Cuma berupa batu kerikil meskipun kerikil yang tajam bentuknya.


Mendengar kalimat yang tak mengenakkan telinga, jangan buru-buru membalas dengan kalimat yang serupa tak enaknya atau 10 x lebih tak mengenakkannya. Redamlah “kepedasan”itu dengan pura-pura tidak tahu, Anggaplah “si pengkritik tak tahu adat” bicara sendiri dengan tembok bangunan tinggi. Orang gila tuh..
Tapi, hal ini hanya berlaku untuk kritikan tak membangun-celaan dengan penuh kebencian dan memerahkan telinga.

Sebaliknya, jika mendengar pujian beruntun terucapkan untuk kita, bersikaplah seolah-olah tak mendengarnya, setelah mengucapkan kata terima kasih dan membisikkan kata amin dalam hati.
Karena setiap pujian baik adalah doa.


Tolaklah kejahatan dengan cara yang lebih baik dan halus, meski dalam hati&otakmu akan selalu terputar kata “Enyahlah” untuk kejahatan&pelaku kejahatan tersebut..