18 Oktober 2010

Sniper

Aku tersudut..
beberapa jengkal di hadapanku, kekasihku mengarahkan laras mesiunya ke arahku. Aku memejamkan mata untuk menikmati ruh yang masih menempel di ragaku.
Hanya tinggal hitungan detik,laras itu akan menyalak dan mengepulkan asapnya..

Romantisme apakah ini?
Mengapa tak kau rayu aku dengan sederhana, dan kalimat-kalimat yang masuk akal saja, wahai kekasihku?


Aku masih terdiam dan mesiu itu tidak juga terdengar bunyi letusannya. Aku tetap berdiri di sudut, menerka kebingungan dan teka-teki silang itu seorang diri. sudah cukup lama..

Kekasihku bertanya padaku..
"Apa maumu? Kenapa kau tidak berteriak minta tolong, wahai wanitaku?"


Aku menjawab..
"Minta tolong? Buat apa?. kamu tahu aku mencintaimu. Dan aku tak ngin mencintaimu dengan biasa-biasa saja. Aku ingin semuanya luar biasa..
Dengarlah..
Cintaku ini nuklir yang tak bisa kau hentikan hanya dengan laras mesiumu. Peluru yang kau letuskan hanya akan menjadi katalis yang memudahkan reaksi itu.."


Kekasihku terdiam..
Posisi kita masih sama, laras itu masih mengarah padaku.


Kekasihku kembali berkata..
"Akan aku lakukan..akan aku tarik pelatuk ini. Tapi aku tidak ingin engkau mati..karena aku mencintaimu..aku membunuhmu karena aku mencintaimu!"
Nada kalimatnya meninggi menahan emosi.


Aku tak berkata-kata lagi untuk menjawabnya..
Hanya sebuah bisikan dalam hati..
" Lakukan wahai kekasihku. Ledakkan mesiumu. Kamu akan tahu bahwa ragaku tak berdarah lagi.."

10 Oktober 2010

Soliloquy

"Sujud itu indah..
Bahwa kamu menumpahkan semua uneg-unegmu tanpa sungkan, bahwa kamu menangis sampai tempat sujudmu basah.
Inilah bentuk lain dari nikmat Tuhan yang selalu mengajakmu bersabar.
Agar langit menjadi persambungan sujudmu, harapanmu bahkan semua amarah di matamu.
Agar kesedihanmu menjadi naungan teduh yang memberimu ketenangan.
Ketenangan yang akan memaksamu terus berjalan.."


Tapi, aku tak setegar dulu, aku melemah..


"Bodoh, kenapa kamu merasa lemah?"

Kenyataan yang begitu lama aku tolak, tiba-tiba kini kuyakini..
Cinta ini telah menanam air mata di mataku..

"Air mata apakah itu?"

Air mata kepedihan dan cinta berbaur dengan angan-angan yang bukan sekedar kegilaan. Hingga akhirnya tersimpan dalam ribuan cerita di dalam hati.
Mencabik-cabik semua yang tersisa di sana.

"Menangislah sepuasmu, betapa tangis itu adalah bentuk kenikmatan.."


Tapi aku belum menguasai seni menangis yang baik..


"Setelah kelelahanmu berlalu, kamu akan menguasai seni menangis itu.
Sangat menyenangkan bila kamu bisa merasakan sebuah kekuatan mahagaib yang sedang terlelap dalam genggaman telapak tanganmu, namun selalu siap kau bangunkan kapan saja kamu mau.."



Tanganku yang lemah ini hanya akan lebur dalam genggaman tangan yang kuat.


"Binasakan kesedihanmu..laut tidak pernah bosan dengan warnanya.."

06 Oktober 2010

Tawaran silet dari seorang sahabat

Aku mengunjungi sahabatku setelah sekian lama aku meninggalkannya. ternyata kedatanganku tepat waktu, karena kondisinya sedang tidak baik-baik saja..
"Hai, apa kabarmu?

Dia tersenyum sekilas.
"Silet itu tersedia di depanku, kawan. Tajam, meski ada sedikit karat di tengahnya. Berilah inspirasi padaku, hendak aku apakan alir nadiku ini..?"

"apa yang ingin kau lakukan?" Tanyaku terkejut.

"Sel-sel darah merahku penuh dengan racun cemburu karena cinta yang besar, aku ingin membersihkannya."

Aku terdiam. Dalam hatiku, aku berbisik pelan..
"maafkan aku sahabatku, kali ini aku tidak bisa melarangmu dengan logikaku. Kondisi kita sama..
Hari ini masih sama dengan hari-hari kemarin. Aku tersiksa ketika merindukan kekasihku. Tapi sayang, aku justru terluka dalam..
Aku tertampar. Seorang teman lamaku menceritakan betapa dekatnya dia dengan kekasihku.


Sahabatku terdiam mendengarkan keluhanku.
"Engkau begitu marah, kawan?" Tanya sahabatku.

"Tidak..aku hanya sedang kehilangan kekuatanku.Aku belajar terpesona, tapi aku merasa pelajaran ini cukup sulit bagiku.
Aku bagai raqib yang mencatat setiap gerakan hatinya yang aku rasakan melalui sikapnya kepadaku. PETA cintanya seakan hanya berupa PESTA cinta."


"Engkau mulai menyerah, kawan?" Tanya sahabatku.


"Entahlah, kekuatanku melemah. Aku tidak menyerah, lebih tepatnya kepasrahan."

"Kamu menginginkan siet ini juga, kawan? ambillah..!" Tawaran sahabatku dengan ketulusan yang tajam.

Aku menepis tawaran itu. Aku masih waras, aku tidak gila. Hanya sebuah keterlukaan yang menunggu sembuh saja.

"Tidak sahabatku, aku hanya membutuhkan sebuah telaga dengan air yang bening.
perjalanku masih panjang dan menggila.
Mungkin pejalan kaki sepertiku, tidak selayaknya bereuforia dengan sekantung air zam-zam..
"

Sahabatku mengiyakan, namun bergumam.
"Tampaknya memang engkau hampir gila, kawanku.."