23 Juli 2009

Dunia Dari Balik Kaca

Pernahkah anda melihat film lebih dari 1 kali? Aku yakin banyak yang menjawab " Ya". Aku sendiri adalah pelakunya.
Aku menonton film yang kusukai lebih dari 3 kali, atau membaca buku yang menjadi favoritku lebih dari 3 kali. Sebenarnya apa yang dicari? Bukankah jalan cerita dan endingnya sudah diketahui, atau mungkin sudah sangat hafal. Aku jawab, " Karena aku menikmati prosesnya ceritanya".

Begitu juga dengan kehidupan. Proses itulah yang sebenarnya menjadi esensi dan hakikat kehidupan itu sendiri. Ada saat bahagia, sedih, thriller, komedi, sukses, down...dan lain sebagainya.Godless bilang.."Dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah..etc"


Mungkin biasa bagi pembaca, namun menyedihkan bagi pelakonnya. Pengalaman Hidupku..

Kepergian bapak dalam kehidupanku, adalah salah satu contoh nyata yang aku rasakan. Perasaan kehilangan sangat terasa.
Aku sendirian, mengantarkannya ke rumah sakit, aku sendirian, menyaksikan proses sakaratul mautnya di ICU, sampai akhirnya aku hanya bisa mengucapkan "Inna Lillahi Wa Inna Lillahi Roji'un" ketika rohaniawan rumah sakit datang dan dokter menyampaikan berita itu. Jam 23.00 wib..

Ternyata berbeda ketika aku melayat orang. Biasanya aku segera turut mengangis karena melihat wajah sedih keluarga yang ditinggalkan, ikut berduka dan terlarut dalam suasana.
Namun yang ini lain. Aku tidak segera menangis. Hanya merasa bagaikan jatuh dari tebing yang sangat tinggi. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, karena aku sendirian di sana.
Bapakku, Orang dekatku yang 1 jam sebelumnya tadi masih sinetron bersama, sekarang sudah kaku di depanku. Kok bisa? Sesuatu yang dulu aku anggap tidak akan terjadi sampai 10 tahun ke depan, ternyata hadir saat itu dalam hitungan jam..

Ah, sudahlah. Itu hanya cuplikan babak cerita sedihku. Memang tidak selengkap jalan cerita kejadiannya waktu itu. Hanya secuplik saja, sudah cukup membuat aku mengingat kembali moment itu..

Hidupku pun terasa berubah. Merasa ada yang kurang di setiap waktunya. Semua hal terasa berbalik derajad. bahkan kejadiian- kejadian tidak bahagia lain pun terjadi. tapi yang ini masalah hati dan memang tidak perlu diceritakan kembali. Cerita basi dan sudah usang, tidak sehat dimakan.
Aku yang tidak biasa mengeluh, semakin tidak bisa mengatakannya. Ah, itu kan hanya proses. Bukankah tidak hanya aku yang kehilangan orang yang kita sayangi? Seluruh manusia di dunia pasti akan mengalaminya. Hanya masalah waktu yang menentukan..

Sebuah kisah yang meninggalkan pesona indah dan cukup membekas di hatiku. Sebuah motivasi tumbuh dari sana. Alkisah..
Menjadi salah satu anggota tim penelitian di daerah Kuningan-Jawa Barat. tidak aka terceritakan detilnya di sini, tunggu session berikutnya. Ada teman yang mengeluh dengan minimalisnya kondisi, kok bisa ya? Mungkin karena mereka tidak biasa hidup susah.
Padahal, setiap proses yang terjadi, mau susah atau senang itulah seninya.
Susah senang tempo dulu pun, akhirnya hanya menjadi kenangan indah ketika kita menceritakannya hari ini. Tapi yang jelas, aku bisa bahagia berada di sana.

Ketika aku menghirup sejuknya angin Jalaksana, sampai panasnya Losari.
Begitu juga ketika aku tinggal nyaman di sebuah rumah seperti Vila di Ciebeureum sampai serasa memiliki rumah pribadi sendiri di Lebakwangi.
Bagaimanapun kondisinya, aku merasa memiliki keluarga yang utuh saat itu.

Teman-temanku pembaca..
Cerita ini belum berakhir. Akan ada release yang lebih komplit. Tapi kapan menerbitkannya? Wait aja yah..hehehe.

Ada pesan dari Arvan (the 7 Laws Of Happiness) nih..bahwa:
Bagi orang sabar..
Tidak ada kata tak bisa..
Tak ada kata yang tidak mungkin..
Segala sesuatu selalu mungkin untuk dilakukan..
Keberhasilan hanyalah masalah waktu..

Pesan ini aku tulis spesial untuk orang-orang yang sabar menanti kesuksesan tanpa berhenti berusaha semampu dia bisa, seperti akyuu..!!

Bersambung..!



Didedikasikan untuk
semua temanku yang baik kepadaku selama ini






12 Juli 2009

Bersahabat Dengan Diri Sendiri

Persahabatan dengan diri sendiri sangat penting. Karena tanpanya, seseorang tidak bisa bersahabat dengan siapapun juga di dunia.

Meskipun terlihat sepele, namun bersahabat dengan diri sendiri bukanlah sesimpel teorinya. Berikut adalah kasus yang tergambarkan dalam sketsa cerita.

Sketsa pertama :
Saya pernah bekerja menjadi sebuah marketing di sebuah perusahaan insurance dengan brand terkenal, tapi harus “batal” dalam waktu yang tidak lama. Why?
Sebagai seorang marketing, tugas saya tentunya adalah bisa menjual produk perusahaan kepada calon pembeli.
Sebenarnya, saya tertarik. Selain income yang tinggi jika bisa “deal”, seorang marketer tidak melulu di belakang meja dan mempunyai kesempatan bertemu dengan orang banyak dari bidang dan karakter yang berbeda. Itu pandangan saya pada awalnya.
Namun ternyata, ketika menjalani..semua terasa berbeda.
Merasa boring, jengkel ketika penawaran ditolak, bahkan merambat ke penyakit jasmani, saya sering merasa pusing ketika mau prospect dengan calon klien.
Kenapa? Saya bahkan belum tahu jawabannya.
Tapi yang jelas, saya tidak begitu menyukai “pertanyaan” yang bertubi-tubi ataupun bicara berulang-ulang jika calon klien belum paham dan ngobrol yang panjang. Padahal, seorang marketer harus bisa menciptakan obrolan yang menyenangkan. Intinya mah, pinter ngomong gitu..
Meskipun begitu, pandangan orang lain dengan yang kita rasakan bisa jadi berbeda. Manager saya memuji saya sebagai marketing berprestasi, karena bisa “deal” produk bernominal besar.
Tapi, mau tahu apa yang saya rasakan?
Saya bosan minta ampyun. Benar-benar tidak enjoy bahkan merasa “tersiksa”. Saya tidak menyukai obrolan, senyum dan muka ramah hanya sekedar untuk bisnis atau tendensi tertentu. Sangat berbeda ketika saya ngobrol dengan teman, tanpa tendensi apa-apa. Semua akan mengalir dengan begitu saja, tanpa tekanan.


Tapi tentunya, pengalaman ini tidak berlaku untuk orang lain.
Karena yang terjadi pada rekan saya justru sebaliknya. Dia sangat menikmati pekerjaan itu.
Ketika saya tanya, “dikau boring dengan muka ramah pura-pura bahkan ketika ditolak dengan judes?”
Dia menjawab, “sama sekali tidak. Justru itulah asyiknya.”

Wah, tentunya saya harus belajar dari rekan saya ini ya..

Sketsa kedua :
Saya terlibat sebuah project penelitian dari sebuah instansi non profit. Posisi saya adalah data editor, dimana tuntutan kerja membuat intensitas berkomunikasi dengan kertas dan komputer lebih banyak daripada dengan manusia.
Ada seorang teman yang kebetulan posisinya sebagai pewawancara/pencari data bertanya, “bosen gak sih? Jauh-jauh lintas propinsi tapi hanya tahu di basecamp saja?”
Mungkin terlihat kasihan kali ya. Tapi yang saya rasakan justru sebaliknya. Saya sangat menikmati pekerjaan ini. Bahkan bertemu dengan benda-benda mati tersebut ternyata tidak beda asyiknya ketika ngobrol dengan teman. Saya sangat enjoy ketika melakukannya.
Mungkin, saya lebih menyukai bekerja di belakang layar dibandingkan menjadi aktrisnya kali ya..

Dua sketsa itu hanyalah sebuah contoh.
Bahwa ukuran bersahabat dengan diri sendiri bukanlah suatu ilmu pasti. Masing-masing manusia mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda. Ketika dia menjadi penulis, bukan berari dia tidak bisa menjadi artis. Tapi lebih kepada, sang penulis tidak enjoy ketika menjadi artis. Begitu juga sebaliknya.

Hobby..
Suatu kegiatan yang menjadi kegemaran kita. Dengan melakukan kegiatan itu, kita akan memperoleh kepuasan tertentu, yang efeknya akan membuat perasaan menjadi gembira. Hobby adalah bagian dari kesukaan kita.
Hobby bisa membuat seseorang maniak sekali, bisa sangat beragam dan lebih dari satu. Namun antara hobby dan kesukaan akan berkaitan.

Sketsa :
Dulu, saya pernah merasa aneh ketika seorang teman saya berkata hobbynya adalah makan bakso. Saya pikir, asal tulis saja ini anak. Bakso? Ah biasa saja. Siapa yang tidak doyan. Sebagian besar orang kenal dan doyan bakso.

Namun, setelah saya amati, ternyata dia berbeda. Setiap ada kesempatan mengunjungi kota-kota lain, teman saya selalu menyempatkan mencari warung bakso. Dia tidak sekedar makan untuk mengisi perut yang lapar. Namun, dia membedakan rasa bakso di se tiap daerah.
Ada fungsinya juga, hobby ini. Terjadi ketika di sebuah daerah jawabarat, dia makan di sebuah warung bakso yang tertulis “bakso solo” sebagai brand-nya, dia komplain ke abang tukang baksonya. Karena rasa bakso solo tidak seperti yang dia rasakan. Yah, ternyata yang masak bukan orang solo asli. Sebaliknya ketika dia makan bakso di kota solo sendiri , dia komplain kenapa rasa baksonya seperti masakan sunda? Yah, ternyata yang masak orang sunda.
Waduh..segitunya ya. Tidak boleh protes dong kita, namanya juga hobby..hihi.

Sama, ketika saya menyukai film korea ketika sedang suntuk. Bukan karena ngefans berat artisnya. Tapi, saya menyukai cara makan orang korea di film-film tersebut. Ketika sedih, sakit hati,putus asa atau patah hati, mereka akan makan banyak dan tergesa-gesa. Memang tidak dianjurkan oleh etika kesehatan dan kesopanan sih. Tapi entah kenapa saya menjadi bersemangat lagi setelah melihatnya.
Aneh? Lagi-lagi tidak boleh protes..karena ini berhubungan dengan kesukaan, hehe.


Bagaimanapun hobby dan mengetahui hal-hal yang kita sukai merupakan cara lain bersahabat dengan diri sendiri. Bayangkan..! (jangan lama-lama bayainginnya ya..hehe!)
Ketika suasana hati sedang kacau, tidak nyaman, BeTe, sumpek, dan sebagainya, kita selalu merasa “ its mybadday” atau “ aku sedang tidak baik-baik saja” atau “ you disturb me” atau kalimat negatif lainnya.
Kita butuh curhat? Silahkan, karena tujuannya membuat perasaan kita kembali baik-baik saja. Tapi kadang kita tidak punya masalah untuk dicurhatkan , tetapi kenapa perasaan kita negatif saja terasanya.

Menurut saya, hanya sekedar butuh pelepasan. Bisa melalui kegiatan berupa hobby, yang membuat perasaan menjadi free kembali.

Untuk pembaca posting ini..
Inventarisasikan hobby dan kesukaan kalian. Bisa jadi kita bisa semakin mengidentifikasi potensi diri kita. Pasti bermanfaat untuk Emotional Quotion kita. Atau bisa jadi juga bermanfaat untuk “Comersial” Quotion kita..hehe.

Kesuksesan adalah meraih apa yang sungguh-sungguh kita inginkan.

06 Juli 2009

Me and Soccer


Dua belas tahun yang lampau, saya hanya mengenal nama Juergen Klinsman dalam dunia sepakbola. Mungkin karena dia cakep, sporty dan menarik di mata saya waktu itu. Phisically ya? Whateverlah, namanya juga anak baru gede. Yang jelas, karena ada dia, saya mengenal sepakbola.

Seperti dunia “anak baru gede” yang histeris ketika band favoritnya sedang show di panggung deh pokoknya. Sangat sederhana kan..


Level menyukai sepakbola dari mengidolakan salah satu personalnya, belum membuat saya bisa menyukai ketika melihat pertandingan sepakbola. Menurut saya waktu itu, sepakbola itu membosankan. Bayangkan 2 x 45 menit, harus pantengin mata ke layar tv demi melihat orang rebutan bola.

Huah..apa asyiknya. Kenapa tidak dikasih satu-satu saja agar bisa nendang tanpa rebutan. Haha..joke klasik!

Tapi seiring perkembangannya, ternyata opini pribadi bahwa “sepakbola itu membosankan” patah dengan sendirinya. Ada sebab awalnya juga sih..

Terjadi ketika mental saya sedang dam kondisi futur berat. Entah di tahun berapa terjadinya. Namun yang terjadi pada saya saat itu adalah, semua hal menjadi terasa menjenuhkan dalam kehidupan saya. Semua aktivitas terasa membosankan.


Saya insomnia karena kegelisahan tanpa sebab jelas. Iseng-iseng saya tonton siaran live sepakbola di tv, dengan mendukung salah satu tim yang bermain. Fokus terhadap pertandingan dari A-Z. Waww, ternyata membuat adrenalin cukup meninggi. Jengkel ketika pihak lawan berhasil menguasai permainan, semangat dan senang ketika tim yang saya dukung berada diatas angin. 2x45 menit, saya habiskan di depan tv.

Saya berteriak lepas ketika gol diciptakan oleh salah satu pemain tim yang saya dukung. Apalagi ketika tim saya menang. Rasa deg-degan 90 menit tadi terhapus sudah. Sangat lega.

Ternyata oh ternyata, sepakbola bisa berfungsi sebagai sarana pelepasan stress juga. Berlebihan? Ah, tidak..karena ini nyata terjadi.


Moment piala dunia 2004..
Awalnya hanya sekedar ikut arus euforia sepakbola 4 tahunan tersebut. Saya mengikuti setiap kualifikasi dari awal dengan menjagokan jerman sebagai juara. Tetap Jerman Cuma bedanya, saya menjagokan Jerman secara utuh, tidak sekedar melihat pesona Klinsman. Mau bukti? Saya suka dengan oliver khan (Huu.. sama aja dong!)

Eits, jelas tidak dong. Coba dibandingkan dengan isi paragraf pertama artikel ini tentang alasannya saya menyukai Klinsman yaitu phisically. Sedangkan Oliver Khan, alasannya adalah dia unik. Meski body seperti robot, tapi tangkapan jarang meleset. Kalau meleset mah, kecelakaan aja..hehe.

Satu lagi, dalam posisi kiper dia bisa sebagai kapten tim. Kan jarang atuh..


Piala dunia 2006..
Tetap dukung Jerman. Bahkan karena maniaknya, saya sampai jengkel dengan Italia karena menggagalkan kemenangan jerman untuk menjadi juara. Pakai acara sedih sepanjang hari juga lho..olala.
Tapi untunglah, Jerman masuk ke 3 besar, lumayanlah.


Tidak selalu Jerman..
Ada kalanya pindah ke lain hati. Buktinya, dalam Euro Cup 2008 kemarin saya jagoin Spanyol dan wuuzz..lancar bener dia jadi juara. Wiii..happy sepanjang hari eui..!!


Meskipun..
Akhirnya, Jerman belum berhasil jadi juara atau Spanyol yang berjasil jadi juara euro cup.


Namun satu point untuk saya, saya menjadii paham tentang sepak bola. Misalnya, kapan terjadi corner, pinalty, off side, bahkan ketika pemain melakukan diving, ekspresi emosi pemain, selebrasi ketika gol terjadi dan sebagainya. Meskipun sepele bagi orang-orang yang sudah tahu, tapi merupakan peningkatan ilmu plus hiburan tersendiri untuk saya.


You’ll Never Walk Alone..

Tidak sekedar judul lagu kebangsaan tim yang sekarang menjadi tim favorit saya, Liverpool. Namun, kalimat itu adalah salah satu syarat sah-nya sepakbola. Lho, kok bisa?

Karena tidak mungkin sepak bola itu bermain sendiri. Ada 20 orang di dalam lapangan, 2 kiper, 1 wasit dan beberapa hakim garis..(benar kan? Haha..just joke).


You’ll Never Walk Alone..

Ada kerjasama yang harus diciptakan agar permainan menjadi bagus dan kemenangan bisa terjadi. Sebuah wacana, dimana kita harus bisa berja sendiri namun juga bekerja dalam sebuah teamwork.

Dalam sepekbola, tidak ada yang tidak mungkin. Seperti gelindingan nasib. Sebuah ketidakpastian tergambarkan di sana. Bisa jadi di atas kertas menang, namun justru hasil yang terjadi adalah sebaliknyan.
Bukankah seperti sebuah nasib? Bisa jadi perencanaan hidup kita matang untuk mendapatkan hasil yang sempurna, Namun Allah menciptakan skenario berbeda sehingga hasil yang terlihat oleh mata manusia adalah kegagalan.


Bola itu bulat..
Sebuah tendangan akan menentukan arah dia menggelinding. Jika arah tendangan itu salah, maka arah bola juga bisa salah dan menjauh dari gawang lawan. Begitu juga dengan kehidupan. Ketika arah yang kita tuju tidak fokus, maka akan terjadi bias yang tak jelas dalam hidup..


Terlalu rumit untuk menganalogikan sepakbola dengan jalan kehidupan? Ah, tidak juga.

Yang jelas, ada dua pasal yang harus dipenuhi ketika melihat sepakbola..

Pasal pertama adalah, jangan memandang pertandingan sepakbola dari sudut pandang filsafat. Jika itu terjadi, anda bisa dianggap kurang 1 ons otaknya lho. Kok bisa? Bayangin aja, ketika yang lain sedang heboh dengan pertandingan atau memberi support pada tim favorit, eh kita malah diam merenung untuk memikirkan, “kenapa bola itu bulat?”. Kalau kotak mah, berarti bola tidak lolos QC-nya pabrik kali yaa..hehe.
Pasal kedua, yaitu siapkan mata, stamina, camilan dan minuman. Dan pilih salah satu tim yang didukung. Kalau bingung mah..jagoin wasit aja..hehehe!!


Bagaimanapun kisah tentang sepakbola. Sekarang yang terjadi di hati saya mah tetep Bravo Liverpool wae..

You’ll Never Walk Alone..!!!