29 September 2009

Bersama Itu Indah

Gempita Idul fitri dan lebaran, mungkin sudah berlalu beberapa hari yang lalu. Tapi tidak ada salahnya, jika saya ingin menulis fenomena-fenomena yang teramati. Salah satunya adalah tradisi mudik yang selalu menjadi topik utama setiap menjelang idul fitri. Fenomena sosial, dimana “pak” polisi, pengusaha angkutan umum, pedagang sembako, PJKA bahkan reporter televisi menjadi sibuk bukan main. Semua masyarakat menjadi sangat sibuk. Entah berada di posisi sebagai “subyek” maupun “obyek” mudik.

Mudik..
Istilah familiar untuk pulang kampung. Sangat lazim dialami oleh semua masyarakat terutama yang hidup dalam perantauan. Banyak waktu, tenaga dan biaya dikeluarkan untuk sebuah “fenomena” mudik. Sebuah kepuasan ketika hari idul fitri, mereka bertemu dengan keluarga besar mereka. Sungkem langsung di depan orang tua dan kerabat yang dituakan dan bersilaturahim satu sama lain.
Ketika hari-hari biasa, mereka saling cuek dan sibuk dengan urusan masing-masing, tapi sangat indah ketika nuansa idul fitri seakan-akan membuat orang menjadi setengah wajib untuk saling mengabarkan keadaan keluarga, kerabat dan teman-temannya.
Ada yang tulus melakukan sebagai bentuk kepedulian, namun ada juga yang hanya bertujuan untuk “pamer” progress kehidupannya. Namun progress di sini, biasanya lebih condong ke arah materi duniawi baik jabatan, harta dan sebagainya.
Banyak tujuan silaturahim dari hati yang bervariasi. Kita tidak akan pernah tepat menebaknya. Hanya Allah yang tahu.
Tapi selama muka ramah, senyum terkembang, jabat tangan erat dan mungkin pelukan hangat persaudaraan itu ada, kita tidak perlu memperdulikan tujuan hati mereka yang sebenar-benarnya. State of mind kita harus dalam posisi bahwa..
MEREKA DATANG UNTUK KITA.

Saya punya 2 sketsa yang ingin saya ceritakan.
Sketsa Pertama..
Seorang keluarga jauh saya, bekerja menjadi karyawan sebuah pabrik elektronik dengan gaji UMR di kota. Bahkan desus-desusnya, pabrik itu sedang gonjang-ganjing. Aljabar finansial memaksanya untuk hidup sangat hemat. Sebuah kehidupan yang pas-pasan bersama seorang istri dan 2 anak yang sudah bersekolah.
Namun tiba-tiba, dia mudik dengan membawa mobil yang cukup mentereng. Tentu saja hal ini sangat membanggakan orang tuanya. Tak henti-hentinya sang orang tua bercerita kepada saudara dan banyak orang mengenai si anak yang telah menjadi orang sukses di kota. Orang-orang pun berdecak kagum dan memuji habis-habisan. Tambah kembang kempislah sang orang tua, karena mendapat pujian di sana-sini. Semoga tidak terjadi kesombongan di hati mereka.
Namun ternyata beda mulut, beda cerita. Di depan saudara-saudara lain, si anak justru bercerita. Demi pulang membawa mobil baru, si anak tersebut terpaksa menggadaikan sertifikat rumahnya. Dia ingin dihargai di kampung halamanya. Dia malu tidak dianggap kaya dan ingin disanjung di kampung halaman. Selain tujuan mulianya, ingin membanggakan orang tua.
Demi rasa gengsi dan keinginan ingin membuat orang tua bangga itulah, jalan “hutang” diambilnya, tabungannya pun ludes.

Saya tidak berani berkomentar macam-macam. Tapi bagaimana jika demi “gengsi” itu, akhirnya rumahnya yang tidak mudah didapatnya itu tidak tergapai lagi? Ah sudahlah, Saya hanya berharap, planning pilihan saudara saya untuk membeli mobil bagus demi mudik sesuai rencananya. Sehingga ketika kembali ke kota, dia bisa menebus sertifikat rumahnya kembali.
Tapi sangat disayangkan ketika tujuan mudik kita diwarnai tujuan untuk pamer atau riya’. Sebenarnya memang tidak merugikan siapa saja, hanya saja kenapa tidak “be my self” saja? Saya pikir, pilihan “be my self”lebih nyaman ke depannya
Lagi-lagi, tidak mudah juga untuk “be myself, karena masih banyak orang yang memandang bahwa orang yang sukses adalah orang yang punya harta dan jabatan. Betul tidak ya? Kalau salah, berarti anda bukan salah satu yang berpendapat seperti itu. Saluut..!

Sketsa kedua..
Mudik sama dengan membawa hasil bumi kampung halaman. Itu adalah motto mudik Om saya yang sudah lama bermukim di kota. Secara finansial yang terlihat mata, dia terhitung menjadi orang sukses atau berhasil. Dia punya jabatan, rumah mewah, mobil mewah dan standar kesuksesan lainnya. Kehidupannya sangat settle.Anak-anaknya pun terlihat gaul bergaya kota dan mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah bonafid .
Namun begitu, dia sekeluarga punya tradisi, bahwa ketika mudik, mereka sekeluarga harus tidur di rumah keluarga meskipun posisi tidur seperti “jemuran pindang”. Mereka makan dengan makanan yang disuguhkan. Padahal jika mau, tidur di hotel dengan fasilitasnya pun, mereka mampu.
Satu lagi hal yang penting yaitu ketika kembali ke kota-nya, mereka harus membawa hasil bumi kampung halaman.
Sehingga tanpa malu, bagasi mobilnya mewahnya akan penuh dengan singkong, ubi, kelapa, buah dan daun mlinjo, mangga, petai dan buah-buahan lain sesuai musim yang ada. Baginya, barang-barang dari kampung halaman itu tidak sekedar oleh-oleh. Namun sebuah restu dan pengingat daerah asalnya.

Dua buah kasus nyata yang berbeda bukan?
Jika dibandingkan sketsa pertama, saya lebih bangga dan lebih menilai positif dengan sketsa mudik yang kedua. “Budaya” mudik dari sketsa kedua lebih terasa hangat dan memiliki pesan moral yang tinggi.
Sebuah kerendahan hati ketika pulang ke kampung halaman, bukan sebuah kesombongan karena ingin dianggap kaya.
Sangat salut ketika seorang pejabat sukses tidak malu dengan asalnya. Dia mampu tapi dia tidak menyalahgunakan kemampuan itu dengan tujuan pamer.


Sketsa-sketsa lain masih banyak. Namun silahkan mengamati sendiri.
Tapi menurut saya, mudik adalah tradisi positif untuk tetap menjaga tali silaturahim dan ber-birul walidain kepada orang tua. Tidak perlu hanya demi gengsi dan pamer, melakukan sesuatu yang sekiranya melebihi kemampuan kita. Sewajarnya dan semampunya saja. Toh, orang tua hanya menginginkan bakti kita. Jika memang kondisi “berlebih” lakukan sebanyak yang mampu dilakukan untuk membanggakan orang tua. Jika memang masih “pas-pasan”, jujur saja dan lakukan sebisa yang kita bisa. Dengan ketulusan, maka “dampak” penghargaan akan tetap kita dapatkan.

The art of Idul fitri..
Meski tidak semua daerah atau negara heboh dengan “ritual” lebaran bernama mudik ini. Namun sebagai sebuah tradisi positif dan unik, tidak salah jika dilakukan jika kita mampu melakukannya. Ikatan persaudaraan akan lebih erat, jika saling menyapa, bertemu, menolong dan sebagainya.
Keep in touch di setiap kesempatan, karena…
BERSAMA ITU INDAH..!



(Didedikasikan untuk My Brother In Yogyakarta, Mas Bayu. Your request, brother!)

Tidak ada komentar: