04 Februari 2010

Harta Terpendam


Berkuntum-kuntum kamboja putih terlihat menghiasi gundukan tanah yang dihiasi bata berplester, yang berfungsi sebagai pengaman agar tanahnya tidak longsor..

Pada suatu sore, ketika aku menemani “Sahabat”ku..

“ Bagian dari tubuhku sudah terpendam di balik tulang di bawah batu itu..” ,
Kata “Sahabatku” pelan.

Aku memandang ke sekeliling..
Pekuburan yang cukup besar. Konon cerita, pada jaman dahulu..pekuburan ini hanya digunakan untuk kalangan bangsawan dan keluarganya. Aku melihat ada beberapa cungkup untuk pemakaman para piyayi(sebutan untuk kalangan ningrat/terhormat), ada pamijen yang masih kosong.
Namun seiring menciutnya lahan perkotaan, tanah pekuburan itu sudah menjadi milik masyarakat umum.
Ah, piyayi atau atau bukan..toh mereka sama-sama hanya menempati tanah seluas 2x1 m. Tidak berdaya di kuburnya meski gelar piyayi disandangnya, tapi dia tanpa amalan di dunianya dulu. Lebih mulia, kaum jelata yang punya amalan bagus tentunya.

“Sahabat”ku masih menekuri satu makam di depannya. Sebuah makam sederhana, tanpa bangunan marmer atau apapun di atasnya. Hanya sebuah pohon kamboja putih tua, seakan-akan melindungi tanah makam itu dari pancaran matahari yang panas.

“ Kamu merindukannya..?” Tanyaku.

“Sahabat”ku mengangguk..
” Aku tidak tahu apakah Dia benar-benar tenang, atau malah menderita di dalam sana. Sepanjang yang aku kenal, Dia sangat baik padaku. Aku tidak rela jika Dia menderita..”

Aku tersenyum..
“ Bapakmu pasti tidak menginginkan kamu bersedih bukan..?” Tanyaku.

“Sahabat”ku mengangguk..
” Sejak 4 tahun lalu, aku sering sedih dengan bulan Februari. Aku selalu merasa bersalah, meski aku tidak tahu kenapa aku harus merasa seperti itu..

“ Lho, kenapa..?” Tanyaku.

“ Entahlah..! Eh, kamu mendengar kisahku dengan beliau?” Tanya “Sahabat”ku.

“ Tentu saja..ceritakanlah..!” Kataku tertarik.

“ Duduklah..! Aku tidak mungkin menceritakan semuanya..sangat panjang dan sangat manis kisahnya..” Kata “Sahabat”ku.

Aku mengangguk tanda setuju. Tak lama kemudian, dia mulai bercerita..

Masa kecilku sangat berwarna..
Sepanjang hariku di masa kecil, aku tidak selalu bertemu ibu kandungku yang aku panggil mama. Hanya malam hari saja aku bertemu keluargaku.
Sepanjang siangku, aku diasuh oleh pengasuhku yang biasa aku panggil ibu sampai sore hari. Entah dari lingkungan, salah asuhan atau memang karakterku, akhirnya aku tumbuh menjadi agak “bengal”, tomboy dan lain dibanding saudara-saudaraku.
Namun ketika malam hari menjelang tidur, aku selalu takluk di pangkuan Bapakku yang selalu mendongengkan cerita wayang sebagai pengantar tidurku.
Sesekali aku cerita..”Pak, tadi aku berkelahi. Pukul teman laki-laki..”.
Bapakku menanggapinya, “ Kenapa?”
Aku menjawab,” Karena dia nakal, menganggu temanku..”
Bapak pun hanya mengangguk..” Ya sudah, besok jangan lagi. Tidak usah bilang mama, ya..! Nanti dimarahi..” Kata beliau.
Selanjutnya beliau akan melanjutkan cerita wayang yang selalu sulit aku pahami, sampai aku terlelap.
Cerita-cerita “bengal”ku hari itu hanya menjadi rahasia-rahasia kecil kami berdua.

Meskipun terlihat santai dengan kebengalanku, ternyata bapak tetap kuatir. Pada suatu malam, tak sengaja aku mendengar obrolan antara bapak dan mama..
Mereka berdua terdengar khawatir, karena aku belum bisa sama sekali membaca al-Qur’an. Teman-teman sebayaku sudah rajin ikut madrasah diniyah, namun aku selalu menolak jika mau didaftarkan.
Akhirnya, dengan memaksa bapak membawaku ke seorang guru ngaji tua yang cara mengajarnya masih sangat kuno. Dia tidak segan-segan memukul pakai  kayu berbentuk kecil-panjang, yang biasa digunakan untuk penunjuk tulisan.
Meski berawal dari ketakutan setiap belajar dengannya, ternyata membuahkan hasil.
Tidak butuh waktu lama, aku bisa lancar baca al Qur’an tanpa tahapan iqro’ jilid 1 sampai 6.
Kegigihan bapakku berlanjut..
Beliau mendaftarkanku di sebuah majelis ta’lim di Masjid Agung Surakarta. Yang mempelajari qiro’atil qur’an-seni membaca al Qur’an dengan indah.
Aku selalu bilang..”aku tidak bisa, Pak..” Tapi beliau tidak memaksaku bisa. Aku hanya disuruh bangun pagi setiap minggu, dan berangkat ke Masjid Agung.
Awalnya memang berat, karena aku sering ngantuk di kelas.

Akhirnya, masa kebengalanku berakhir. Aku menjadi sangat patuh..
Aku merasa sangat bahagia melihat bapakku tersenyum puas di deretan audien sebuah pengajian akbar di desaku, ketika aku berdiri di panggung membacakan ayat-ayat al qur’an saat itu.
Salah satu komentar bapak saat itu adalah..” Lengkinganmu kurang tinggi..”
Minta ampun, itu saja sudah ketakutan jika suara tidak nyampai..hehe.

“Sahabat”ku diam sejenak..
“ Tapi, aku tidak pernah bisa menjadi seperti yang dia inginkan..”

“ Lho, kenapa..?” Tanyaku.

Dulu, bapak ingin aku menjadi polwan. Lucu ya? Beliau sangat bangga ketika aku masuk menjadi pasukan inti pramuka, aktif ini-aktif itu. Apalagi ketika SMA, aku terpilih menjadi anggota tim paskibra ketika menjelang 17 agustus. Beliau sangat bangga.
Tapi sayang, semua tidak menjadi terlaksana.
Aku mengalami kecelakaan, ketika pulang sekolah dan mau persiapan latihan paskibra sore harinya. Mau tak mau, kesempatan itu pupus sudah. Aku harus tinggal di rumah sakit dalam waktu yang cukup lama, pemulihan, ini-itu..ah menyebalkan.

Tapi, wajah bapak selalu tenang..
Beliau selalu menemaniku melakukan check up di rumah sakit tempat aku dirawat sampai kondisiku dinyatakan baik, meski harus tetap menjalani therapi-therapi.
Mau tak mau keinginannya juga harus pupus. Tidak mungkin berharap menjadi seorang polwan pada putrinya yang saat itu belum bisa menerima getaran keras, bentakan dan tekanan emosi yang tinggi, meski secara fisik sudah dinyatakan sehat.

Beliau selalu berwajah tenang..
“ Manusia boleh berencana, tapi Tuhan selalu punya kuasanya..” Kataku mencoba menghibur “Sahabat”ku.

Mungkin juga seperti itu..
Tidak pernah juga aku melihat ekspresi penyesalan atau kecewa di wajahnya. Beliau semakin menyayangiku, membelai kepalaku, memberikan cerita-cerita lucu dibumbui nasehat-nasehatnya, menyimpan rahasia-rahasia kecil kami dari mama dan saudara-saudaraku.
Beliau juga suka ketika aku mulai tampil feminin. 
Namun ada sayangnya..

“ Kenapa..?” Tanyaku.

Dulu, bapak sempat tidak mengijinkan aku berjilbab setiap harinya.

“ Oya..? Bukankah dia ingin kamu bisa ngaji, bisa jadi qori’..lalu kenapa beliau tidak ingin kamu berjilbab setiap harinya..?” Tanyaku.

Entahlah..
Mungkin itu salah satu ketidaksempurnaannya sebagai laki-laki yang sangat baik.

“ Beliau membutuhkanmu..” Kataku.

Iya, aku tahu sekali. Aku selalu mendoakannya di setiap sholatku.
Ah, rasanya baru kemarin aku ngecat rumah dengan beliau. Tertawa lepas bersama, duduk bertiga di teras-garasi..
Tiba-tiba, malam itu aku harus mengantar dan menemaninya di ICU rumahsakit, melihat nazaknya, Sampai vonis dokter bahwa beliau sudah tidak ada.
Aku masih berharap dokter dan alat2 rumah sakit itu salah ketika menemani jenazahnya.

Aku terus menatap dadanya berharap akan bergerak lagi. Sesekali kudekatkan jariku di depan hdungnya agar bisa merasakan nafasnya kembali.
Tapi itu tidak pernah terjadi..
Ah, ternyata sudah cukup lama kejadian itu tapi bayangan itu tidak pernah hilang dari ingatanku..

“ Sudahlah, bapak lebih tenang di sana. Meski kamu merasa “bagian tubuh”mu telah ikut terpendam di sana..tapi bagian tubuhmu yang lain harus tetap melanjutkan hidup untuk lebih baik..” Kataku.

“Sahabat”ku mengangguk..

Sore beranjak semakin petang. Aku dan “Sahabat”ku, bangkit meninggalkan pekuburan yang lengang itu.

“ Sebuah hartamu terpendam di tempat yang semua penghuninya tidur sepanjang masa. Tidak akan ada yang mengusiknya. Tidak ada pencuri di sini. Aman..”
Bisikku pada “Sahabat”ku.


( 4 Februari, pada suatu sore di makam bapak)





2 komentar:

burtuqalun mengatakan...

Old soldiers never die; they just fade away

gotenteacom mengatakan...

bapak adalah sosok yang kamu n saya perlukan. karena mereka sekarang sudah tidak ada di dunia ini lagi.. begitupun saya.. apapun yang bisa kita ambil dari semua hal yang beliau2 ajarkan bisa kita gunakan sebagai bukti bahwa kita tidak pernah melupakan mereka..